Permasalahan Dan Solusi Perkedelaian Nasional

Cetak

Oleh:

Dody Kastono

Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman

Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta

I. Permasalahan Kedelai

            Kebutuhan kedelai nasional akhir-akhir semakin meningkat, pemenuhannya dilakukan dengan meningkatkan pasokan kedelai impor yang bahkan sudah mencapai angka 70-80 %. Rendahnya produksi kedelai dalam negeri tidak terlepas dari banyaknya permasalahan yang dihadapi baik dari aspek kebijakan maupun aspek teknis di lapangan. Beberapa faktor yang menjadi kendala dalam peningkatan produksi kedelai maupun dalam pencapaian standar kualitas hasil panen kedelai, antara lain:

A. Faktor Lingkungan (iklim dan cuaca serta tanah dan lahan)

Faktor lingkungan baik iklim dan cuaca maupun tanah dan lahan merupakan faktor yang harus dipahami dan diupayakan dapat disesuaikan agar usaha tani kedelainya berhasil dengan baik. Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain:

  1. Iklim di Indonesia terbagi dua musim, yaitu musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK). Akhir-akhir ini perubahan iklim dan cuaca cukup berpengaruh besar terhadap bidang pertanian. Khususnya adanya dampak pemanasan gobal (Global Warming) yang menyebabkan adanya pergeseran pola musim, yang menyebabkan kegagalan panen maupun kematian tanaman dikarenakan adanya dampak kekeringan (El-Nino) serta hujan berlebihan bahkan banjir (La-Nina).
  2. Luas areal pertanian semakin menyempit karena berubahnya fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian untuk berbagai kepentingan, seperti pembangunan perumahan dan perkantoran. Pada tahun 1992/1993, Indonesia mampu melakukan penanaman kedelai dengan luas areal tanam mencapai 1,2-1,3 juta hektar sehingga produksinya bisa surplus. Sementara itu, mulai tahun 2000-an sampai sekarang degradasi luas areal tanam kedelai semakin besar bahkan mencapai 50-60 % dibandingkan penanaman tahun 1992/1993, luas areal tanam kedelai hanya berkisar 600-700 ribu hektar, dengan produktivitas yang juga cenderung menurun (rerata produktivitas: lahan sawah 1,1-1,2 ton/ha dan lahan kering 0,6-0,7 ton/ha

B. Faktor Sumber Daya Manusia (SDM)

  1. Rerata tingkat pendidikan petani masih relatif rendah, petani dengan tingkat pendidikan sarjana masih relatif terbatas jumlahnya. Hal ini cukup berdampak pada lambatnya proses adopsi dan transfer teknologi di bidang pertanian, khususnya dalam bidang peningkatan produksi tanaman.
  2. Kurangnya gairah petani menanam kedelai karena keuntungannya (insentif yang didapatkan) relatif kecil, sehingga petani kurang mempunyai daya saing yang kompetitif terhadap produk pertanian lainnya.
  3. Pola pikir masyarakat petani masih berorientasi pada bobot (kuantitas) dan belum berorientasi pada mutu (kualitas), sehingga ada keengganan untuk menangani kegiatan panen dan pascapanen untuk meningkatkan pendapatannya. Sebagai jalan pintasnya hasil usaha taninya sering kali dijual di lahan, hal ini semakin menyuburkan sistem tebasan yang lebih cenderung menguntungkan pedagang.
  4. Jumlah petani generasi muda semakin menurun drastis, di mana generasi muda lebih menyukai pekerjaan di luar bidang pertanian dengan pertimbangan “gengsi dan prestise sosialnya”.
  5. Kearifan lokal petani dalam usahatani kedelai sudah banyak yang ditinggalkan, misalnya petani lebih menyukai penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia daripada pupuk organik, pupuk hayati, dan biopestisida (pestisida nabati). Pemahaman karakter iklim dan cuaca melalui “Kalender Pranata Mangsa” juga sudah mulai dilupakan oleh generasi muda, sehingga banyak kegagalan karena tidak sesuai dengan musimnya.

C. Faktor Teknis Budidaya

  1. Pertumbuhan tanaman cukup peka terhadap perubahan lingkungan tumbuh akibat iklim dan cuaca, baik mikro maupun makro. Petani sangat diharapkan mampu memahami perilaku iklim dan cuaca agar kegagalan panen dapat dihindarkan sejak dini, misalnya dengan mempelajari karakter musim melalui “Kalender Pranata Mangsa”.
  2. Banyaknya peluang terjadinya serangan hama maupun penyakit sejak saat benih mulai tumbuh sampai panen dan pascapanen, yakni sekitar 23 jenis hama yang potensial. Oleh karena itu, petani kedelai diharapkan mampu melakukan monitoring dan evaluasi pertanaman sejak dini guna mengantisipasi gangguan dan kerusakan akibat hama dan penyakit, di mana penurunan produksinya bisa mencapai 20-30 %.
  3. Keterbatasan air khususnya di daerah tadah hujan menjadi faktor penentu keberhasilan usaha tani kedelai. Hasil panen kedelai mengalami banyak penurunan bila pada fase kritis pertumbuhannya kebutuhan airnya tidak cukup tersedia, apabila mengalami kekeringan maka produktivitasnya dapat menurun 40-65 %.

D. Faktor Sarana Produksi Pertanian

  1. Ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan pestisida seringkali tidak sesuai kebutuhan petani. Kondisi demikian seringkali menjadikan petani hanya mampu melakukan sebagian dari tahapan rekomendasi teknis budidaya kedelai, sehingga hasil yang diperoleh masih belum maksimal.
  2. Ketersediaan alat, khususnya peralatan panen, pascapanen, dan sarana gudang penyimpanan yang masih sangat terbatas, sehingga petani berkecenderungan tidak mau melakukan penanganan pascapanen untuk meningkatkan kualitas hasil kedelai.

E. Faktor Pemasaran

  1. Ketiadaan jaminan pemasaran hasil kedelai, menyebabkan harga jual kedelai di tingkat petani rendah, dan ini diperparah dengan adanya politik permainan harga oleh pedagang kedelai.
  2. Kebijakan impor yang semakin meningkat volumenya dan murahnya harga kedelai impor akan semakin melemahnya daya saing kedelai lokal.
  3. Produsen tempe, tahu, dan kecap maupun industri berbahan baku kedelai lebih menyukai kedelai impor dengan pertimbangan kedelai impor lebih stabil baik volume, kualitas, maupun pasokannya, dan harga lebih rendah. Adanya propaganda yang melemahkan kualitas produk kedelai lokal, di mana kedelai lokal divonis produksi dan kualitasnya rendah, serta tidak stabil produksi dan stok ketersediaannya.

F. Faktor Peran Pemerintah

  1. Belum ada peran pemerintah dalam mengatur penggunaan lahan yang menjamin ketersediaan lahan untuk penanaman kedelai setiap tahunnya, sementara di beberapa pihak masih ada peluang lahan yang dapat ditanami dalam skala yang luas, misalnya di kawasan Perhutani maupun perkebunan.
  2. Belum banyak peran pemerintah dalam menjembatani antara petani dengan industri guna menjamin harga jual dan menyalurkan pemasaran hasil pertanian.
  3. Banyak program pemerintah yang kurang jelas keberlanjutannya, sehingga sering terhenti di tengah jalan tanpa ada solusi yang lebih tepat. Apabila ada seringkali bentuk kemitraannya tidak mampu berkelanjutan karena berbagai sebab, misalnya adanya gangguan pasar menyebabkan komitmen petani terhadap kontrak kemitraan menjadi goyah.

II. Solusi yang Harus Dilakukan

 Beberapa permasalahan yang ada di atas sebenarnya telah diupayakan untuk diatasi. Upaya peningkatan produksi kedelai di Indonesia telah dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain:  Program Pengapuran, Supra Insus, Opsus Kedelai, Gema Palagung melalui salah satu cara dengan peningkatan index pertanaman (IP) 300 menuju Swasembada Kedelai pada tahun 2001. Bahkan tahun 2004 dicanangkan Program Bangkit Kedelai dengan luas tanam 250.000 ha dan luas panen 237.500 ha (produktivitas 1,60 ton/ha) dilaksanakan pada 12 provinsi yang telah biasa tanam kedelai namun sekarang tidak tanam lagi. Sasaran Bangkit Kedelai tahun 2004 adalah untuk mencapai produksi 1 juta ton, dan tercapainya swasembada kedelai dengan produksi 2 juta ton lebih pada tahun 2008. Swasembada kedelai akhirnya dicanangkan kembali untuk dapat dicapai baru pada tahun 2015, mengingat berbagai kendala yang ada. Namun demikian, upaya-upaya tersebut tetap belum berhasil mengatasi permasalahan yang ada dan cenderung semakin besar volume impor kedelainya.

Oleh karena itu, perlu diupayakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penanaman kedelai sebaiknya menggunakan pola tanam yang disesuaikan dengan karakter wilayah dan musim, serta mempertimbangkan kearifan lokal yang ada, misalnya ditentukan waktu tanamnya sebagai berikut:

2. Perlu adanya jaminan pemerintah dalam menyediakan lahan untuk berkontribusi dalam meningkatkan produksi dan kualitas kedelai secara berkelanjutan, dengan memanfaatkan potensi lahan di kawasan Perhutani dan perkebunan.

3. Perlu adanya program pembinaan dan pendampingan yang komprehensif dan intensif dalam memandirikan masyarakat petani khususnya generasi mudanya, misalnya melalui program Sarjana Pendamping Desa. Pelatihan ketrampilan teknis, kepemimpinan, dan manajerial petani perlu lebih ditingkatkan dan diintensifkan.

4. Kelembagaan petani dan kelompok tani lebih diberdayakan terutama dalam menjaga komitmen bisnis dengan industri, sehingga ada kepastian dalam pemasaran hasil dengan jaminan harga yang lebih baik.

5. Jaminan ketersediaan sarana prasarana produksi pertanian diupayakan sesuai dengan kebutuhan petani di lapangan, dapat melalui kelembagaan petani yang ada (lebih baik yang sudah berwujud koperasi berbadan hukum).

6. Fasilitasi permodalan dengan melibatkan perbankan dengan skema bunga rendah diharapkan dapat membantu petani dalam mengembangkan usaha taninya secara berkelanjutan.

7. Fasilitasi pembuatan embung-embung dan jaringan irigasi (peran Pekerjaan Umum) lebih ditingkatkan dan diintensifkan dalam melayani luas lahan yang lebih meluas dan merata.

8. Pemerintah harus mengupayakan kemitraan berbasis 4 pilar (ABCG), yaitu: A: academic (peran perguruan tinggi: akademisi dan peneliti), B: business (peran industri swasta: penampung hasil, pengolahan produk, dan pemasaran), C: community (peran masyarakat petani: produsen dan pemilik lahan), dan G: government (peran pemerintah: pembuat regulasi, penyedia fasilitas, dan pembina masyarakat). Kemitraan ini diharapkan dapat memberikan jaminan produk dari petani yang selalu dapat diserap pasar dan industri dengan harga dan keuntungan yang layak, dengan mendapatkan binaan dan pendampingan dari perguruan tinggi, serta difasilitasi dan dijamin oleh pemerintah.

9. Adanya jaminan harga yang layak agribisnis bagi kedelai sehingga menumbuhkan kembali minat petani untuk menanam kedelai, terutama di daerah sentra produksi dan wilayah khusus.

 

III.  Pendekatan Teknologi Tepat Guna yang Spesifik Lokasi Berbasis Kearifan Lokal

 Teknologi budidaya yang ada sebagian merupakan hasil olah pikir dan karya masyarakat berdasarkan pengalaman yang baik dan telah diwariskan secara terus menerus, dan sekarang menjadi suatu kearifan lokal masyarakat yang dicari kembali untuk dapat diterapkan secara berkelanjutan, karena telah terbukti baik hasilnya. Sebagian lagi sudah ditunjang dengan perkembangan teknologi maju, untuk lebih mempercepat perbaikan peningkatan produksi kedelai. Adapun kultur teknis dalam berbudidaya tanaman kedelai dalam mengatasi permasalahan yang ada di lapangan, adalah sebagai berikut:

  1. penggunaan mulsa jerami dan pupuk organik,
  2. pengaturan jarak tanam dan populasi tanaman,
  3. pemangkasan pucuk untuk merangsang percabangan produktif,
  4. inokulasi rhizobium untuk memfiksasi unsur N,
  5. aplikasi mikoriza untuk meningkatkan unsur P tersedia,
  6. pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) dan pupuk pelengkap cair (PPC), dan
  7. perlakuan benih untuk antisipasi gangguan hama dan penyakit sejak dini.

            Upaya-upaya tersebut di atas harus didukung oleh semua pihak secara konsisten berdasarkan komitmen bersama dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil kedelai, khususnya kedelai lokal guna menunjang program ketahanan dan kedaulatan pangan. Kebangkitan kedelai lokal menjadikan ikon penyemangat baru dalam meningkatkan kontribusi pangan bagi kebutuhan masyarakat dan bangsa.