Setelah stok benih tercukupi, langkah berikutnya adalah pemurnian benih melalui seleksi masa positif dan negatif. Pada proses ini, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Kementerian Pertanian diikutsertakan untuk meyakinkan kebenaran hasil yang didapat.
"Saya memisahkan yang di luar tipe negatif dan positif. Saya pun berkali-kali menanam, ada sekitar empat sampai lima kali tanam untuk mendapatkan yang benar-benar tipe Malika," ujar Setyastuti seperti dikutip dari Sumber Inspirasi Indonesia: 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Minggu (24/9/2016).
Ada dua jenis kedelai yang digunakan dalam proses pemurnian tersebut yaitu domain bulu coklat atau positif (Malika) dan bulu putih negatif. Rencananya, kedelai bulu putih yang belum dilepas ke petani akan diberi nama Gamalika.
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji banding Malika untuk menunjukkan keunggulannya, baik dari sisi adaptasi varietas maupun hasil. Uji banding dilakukan dengan menanam enam varietas di lokasi berbeda.
Penanaman dilakukan pada musim kemarau tahun 2005 dan musim hujan 2006. Uji varietas ini bekerja sama dengan Balai Penelitian Kacang dan Ubi Kementerian Pertanian.
Hanya 17 data yang dianalisis dari 24 data penanaman. Hasil tanaman yang sangat bagus dilakukan di Nusa Tenggara Barat, dengan potensi produksi 1,96 hingga 2,92 ton per hektare.
Adapun penanaman Malika saat ini masih dilakukan di pula Jawa karena lebih ekonomis, terlebih memudahkan proses pengangkutan ke pabrik yang ada di Subang, Jawa Barat. Riset Setyastuti mengenai Malika pun tak pernah berhenti. Ada sekitar 38 judul skripsi, 3 tesis, dan 1 disertasi yang dihasilkan dari penelitian ini. (Dam/Why http://tekno.liputan6.com/)