Kolom Akademisi

Oleh:

Dody Kastono

Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman

Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta

I. Permasalahan Kedelai

            Kebutuhan kedelai nasional akhir-akhir semakin meningkat, pemenuhannya dilakukan dengan meningkatkan pasokan kedelai impor yang bahkan sudah mencapai angka 70-80 %. Rendahnya produksi kedelai dalam negeri tidak terlepas dari banyaknya permasalahan yang dihadapi baik dari aspek kebijakan maupun aspek teknis di lapangan. Beberapa faktor yang menjadi kendala dalam peningkatan produksi kedelai maupun dalam pencapaian standar kualitas hasil panen kedelai, antara lain:

A. Faktor Lingkungan (iklim dan cuaca serta tanah dan lahan)

Faktor lingkungan baik iklim dan cuaca maupun tanah dan lahan merupakan faktor yang harus dipahami dan diupayakan dapat disesuaikan agar usaha tani kedelainya berhasil dengan baik. Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain:

  1. Iklim di Indonesia terbagi dua musim, yaitu musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK). Akhir-akhir ini perubahan iklim dan cuaca cukup berpengaruh besar terhadap bidang pertanian. Khususnya adanya dampak pemanasan gobal (Global Warming) yang menyebabkan adanya pergeseran pola musim, yang menyebabkan kegagalan panen maupun kematian tanaman dikarenakan adanya dampak kekeringan (El-Nino) serta hujan berlebihan bahkan banjir (La-Nina).
  2. Luas areal pertanian semakin menyempit karena berubahnya fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian untuk berbagai kepentingan, seperti pembangunan perumahan dan perkantoran. Pada tahun 1992/1993, Indonesia mampu melakukan penanaman kedelai dengan luas areal tanam mencapai 1,2-1,3 juta hektar sehingga produksinya bisa surplus. Sementara itu, mulai tahun 2000-an sampai sekarang degradasi luas areal tanam kedelai semakin besar bahkan mencapai 50-60 % dibandingkan penanaman tahun 1992/1993, luas areal tanam kedelai hanya berkisar 600-700 ribu hektar, dengan produktivitas yang juga cenderung menurun (rerata produktivitas: lahan sawah 1,1-1,2 ton/ha dan lahan kering 0,6-0,7 ton/ha

B. Faktor Sumber Daya Manusia (SDM)

  1. Rerata tingkat pendidikan petani masih relatif rendah, petani dengan tingkat pendidikan sarjana masih relatif terbatas jumlahnya. Hal ini cukup berdampak pada lambatnya proses adopsi dan transfer teknologi di bidang pertanian, khususnya dalam bidang peningkatan produksi tanaman.
  2. Kurangnya gairah petani menanam kedelai karena keuntungannya (insentif yang didapatkan) relatif kecil, sehingga petani kurang mempunyai daya saing yang kompetitif terhadap produk pertanian lainnya.
  3. Pola pikir masyarakat petani masih berorientasi pada bobot (kuantitas) dan belum berorientasi pada mutu (kualitas), sehingga ada keengganan untuk menangani kegiatan panen dan pascapanen untuk meningkatkan pendapatannya. Sebagai jalan pintasnya hasil usaha taninya sering kali dijual di lahan, hal ini semakin menyuburkan sistem tebasan yang lebih cenderung menguntungkan pedagang.
  4. Jumlah petani generasi muda semakin menurun drastis, di mana generasi muda lebih menyukai pekerjaan di luar bidang pertanian dengan pertimbangan “gengsi dan prestise sosialnya”.
  5. Kearifan lokal petani dalam usahatani kedelai sudah banyak yang ditinggalkan, misalnya petani lebih menyukai penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia daripada pupuk organik, pupuk hayati, dan biopestisida (pestisida nabati). Pemahaman karakter iklim dan cuaca melalui “Kalender Pranata Mangsa” juga sudah mulai dilupakan oleh generasi muda, sehingga banyak kegagalan karena tidak sesuai dengan musimnya.

C. Faktor Teknis Budidaya

  1. Pertumbuhan tanaman cukup peka terhadap perubahan lingkungan tumbuh akibat iklim dan cuaca, baik mikro maupun makro. Petani sangat diharapkan mampu memahami perilaku iklim dan cuaca agar kegagalan panen dapat dihindarkan sejak dini, misalnya dengan mempelajari karakter musim melalui “Kalender Pranata Mangsa”.
  2. Banyaknya peluang terjadinya serangan hama maupun penyakit sejak saat benih mulai tumbuh sampai panen dan pascapanen, yakni sekitar 23 jenis hama yang potensial. Oleh karena itu, petani kedelai diharapkan mampu melakukan monitoring dan evaluasi pertanaman sejak dini guna mengantisipasi gangguan dan kerusakan akibat hama dan penyakit, di mana penurunan produksinya bisa mencapai 20-30 %.
  3. Keterbatasan air khususnya di daerah tadah hujan menjadi faktor penentu keberhasilan usaha tani kedelai. Hasil panen kedelai mengalami banyak penurunan bila pada fase kritis pertumbuhannya kebutuhan airnya tidak cukup tersedia, apabila mengalami kekeringan maka produktivitasnya dapat menurun 40-65 %.

D. Faktor Sarana Produksi Pertanian

  1. Ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan pestisida seringkali tidak sesuai kebutuhan petani. Kondisi demikian seringkali menjadikan petani hanya mampu melakukan sebagian dari tahapan rekomendasi teknis budidaya kedelai, sehingga hasil yang diperoleh masih belum maksimal.
  2. Ketersediaan alat, khususnya peralatan panen, pascapanen, dan sarana gudang penyimpanan yang masih sangat terbatas, sehingga petani berkecenderungan tidak mau melakukan penanganan pascapanen untuk meningkatkan kualitas hasil kedelai.

E. Faktor Pemasaran

  1. Ketiadaan jaminan pemasaran hasil kedelai, menyebabkan harga jual kedelai di tingkat petani rendah, dan ini diperparah dengan adanya politik permainan harga oleh pedagang kedelai.
  2. Kebijakan impor yang semakin meningkat volumenya dan murahnya harga kedelai impor akan semakin melemahnya daya saing kedelai lokal.
  3. Produsen tempe, tahu, dan kecap maupun industri berbahan baku kedelai lebih menyukai kedelai impor dengan pertimbangan kedelai impor lebih stabil baik volume, kualitas, maupun pasokannya, dan harga lebih rendah. Adanya propaganda yang melemahkan kualitas produk kedelai lokal, di mana kedelai lokal divonis produksi dan kualitasnya rendah, serta tidak stabil produksi dan stok ketersediaannya.

F. Faktor Peran Pemerintah

  1. Belum ada peran pemerintah dalam mengatur penggunaan lahan yang menjamin ketersediaan lahan untuk penanaman kedelai setiap tahunnya, sementara di beberapa pihak masih ada peluang lahan yang dapat ditanami dalam skala yang luas, misalnya di kawasan Perhutani maupun perkebunan.
  2. Belum banyak peran pemerintah dalam menjembatani antara petani dengan industri guna menjamin harga jual dan menyalurkan pemasaran hasil pertanian.
  3. Banyak program pemerintah yang kurang jelas keberlanjutannya, sehingga sering terhenti di tengah jalan tanpa ada solusi yang lebih tepat. Apabila ada seringkali bentuk kemitraannya tidak mampu berkelanjutan karena berbagai sebab, misalnya adanya gangguan pasar menyebabkan komitmen petani terhadap kontrak kemitraan menjadi goyah.

II. Solusi yang Harus Dilakukan

 Beberapa permasalahan yang ada di atas sebenarnya telah diupayakan untuk diatasi. Upaya peningkatan produksi kedelai di Indonesia telah dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain:  Program Pengapuran, Supra Insus, Opsus Kedelai, Gema Palagung melalui salah satu cara dengan peningkatan index pertanaman (IP) 300 menuju Swasembada Kedelai pada tahun 2001. Bahkan tahun 2004 dicanangkan Program Bangkit Kedelai dengan luas tanam 250.000 ha dan luas panen 237.500 ha (produktivitas 1,60 ton/ha) dilaksanakan pada 12 provinsi yang telah biasa tanam kedelai namun sekarang tidak tanam lagi. Sasaran Bangkit Kedelai tahun 2004 adalah untuk mencapai produksi 1 juta ton, dan tercapainya swasembada kedelai dengan produksi 2 juta ton lebih pada tahun 2008. Swasembada kedelai akhirnya dicanangkan kembali untuk dapat dicapai baru pada tahun 2015, mengingat berbagai kendala yang ada. Namun demikian, upaya-upaya tersebut tetap belum berhasil mengatasi permasalahan yang ada dan cenderung semakin besar volume impor kedelainya.

Oleh karena itu, perlu diupayakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penanaman kedelai sebaiknya menggunakan pola tanam yang disesuaikan dengan karakter wilayah dan musim, serta mempertimbangkan kearifan lokal yang ada, misalnya ditentukan waktu tanamnya sebagai berikut:

  • penanaman kedelai di lahan sawah dilakukan Februari/Maret-Juni/Juli (MK I) dan Juni/Juli-Oktober/November (MK II),
  • penanaman kedelai di lahan tadah hujan/tegalan dilakukan November-Januari (MH I) dan Februari-April (MH II).

2. Perlu adanya jaminan pemerintah dalam menyediakan lahan untuk berkontribusi dalam meningkatkan produksi dan kualitas kedelai secara berkelanjutan, dengan memanfaatkan potensi lahan di kawasan Perhutani dan perkebunan.

3. Perlu adanya program pembinaan dan pendampingan yang komprehensif dan intensif dalam memandirikan masyarakat petani khususnya generasi mudanya, misalnya melalui program Sarjana Pendamping Desa. Pelatihan ketrampilan teknis, kepemimpinan, dan manajerial petani perlu lebih ditingkatkan dan diintensifkan.

4. Kelembagaan petani dan kelompok tani lebih diberdayakan terutama dalam menjaga komitmen bisnis dengan industri, sehingga ada kepastian dalam pemasaran hasil dengan jaminan harga yang lebih baik.

5. Jaminan ketersediaan sarana prasarana produksi pertanian diupayakan sesuai dengan kebutuhan petani di lapangan, dapat melalui kelembagaan petani yang ada (lebih baik yang sudah berwujud koperasi berbadan hukum).

6. Fasilitasi permodalan dengan melibatkan perbankan dengan skema bunga rendah diharapkan dapat membantu petani dalam mengembangkan usaha taninya secara berkelanjutan.

7. Fasilitasi pembuatan embung-embung dan jaringan irigasi (peran Pekerjaan Umum) lebih ditingkatkan dan diintensifkan dalam melayani luas lahan yang lebih meluas dan merata.

8. Pemerintah harus mengupayakan kemitraan berbasis 4 pilar (ABCG), yaitu: A: academic (peran perguruan tinggi: akademisi dan peneliti), B: business (peran industri swasta: penampung hasil, pengolahan produk, dan pemasaran), C: community (peran masyarakat petani: produsen dan pemilik lahan), dan G: government (peran pemerintah: pembuat regulasi, penyedia fasilitas, dan pembina masyarakat). Kemitraan ini diharapkan dapat memberikan jaminan produk dari petani yang selalu dapat diserap pasar dan industri dengan harga dan keuntungan yang layak, dengan mendapatkan binaan dan pendampingan dari perguruan tinggi, serta difasilitasi dan dijamin oleh pemerintah.

9. Adanya jaminan harga yang layak agribisnis bagi kedelai sehingga menumbuhkan kembali minat petani untuk menanam kedelai, terutama di daerah sentra produksi dan wilayah khusus.

 

III.  Pendekatan Teknologi Tepat Guna yang Spesifik Lokasi Berbasis Kearifan Lokal

 Teknologi budidaya yang ada sebagian merupakan hasil olah pikir dan karya masyarakat berdasarkan pengalaman yang baik dan telah diwariskan secara terus menerus, dan sekarang menjadi suatu kearifan lokal masyarakat yang dicari kembali untuk dapat diterapkan secara berkelanjutan, karena telah terbukti baik hasilnya. Sebagian lagi sudah ditunjang dengan perkembangan teknologi maju, untuk lebih mempercepat perbaikan peningkatan produksi kedelai. Adapun kultur teknis dalam berbudidaya tanaman kedelai dalam mengatasi permasalahan yang ada di lapangan, adalah sebagai berikut:

  1. penggunaan mulsa jerami dan pupuk organik,
  2. pengaturan jarak tanam dan populasi tanaman,
  3. pemangkasan pucuk untuk merangsang percabangan produktif,
  4. inokulasi rhizobium untuk memfiksasi unsur N,
  5. aplikasi mikoriza untuk meningkatkan unsur P tersedia,
  6. pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) dan pupuk pelengkap cair (PPC), dan
  7. perlakuan benih untuk antisipasi gangguan hama dan penyakit sejak dini.

            Upaya-upaya tersebut di atas harus didukung oleh semua pihak secara konsisten berdasarkan komitmen bersama dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil kedelai, khususnya kedelai lokal guna menunjang program ketahanan dan kedaulatan pangan. Kebangkitan kedelai lokal menjadikan ikon penyemangat baru dalam meningkatkan kontribusi pangan bagi kebutuhan masyarakat dan bangsa.

 

 

Oleh:

Dody Kastono

Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman

Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta

sumber gambar : budidaya kacang kedelai

A. Program Peningkatan Ketahanan Pangan

             Program ini dimaksudkan untuk mengoperasionalkan kebijakan peningkatan ketahanan pangan. Dalam pengertian kebijakan operasional pembangunan ketahanan pangan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan), dan stabilitas pengadaannya. Di samping aspek produksi, distribusi dan keamanan, ketahanan masyarakat, pendapatan yang cukup bagi masyarakat untuk mengakses bahan pangan.

            Tujuan program ketahanan pangan adalah meningkatkan ketersediaan pangan dalam jumlah cukup, kualitas yang memadai, dan tersedia sepanjang waktu, melalui peningkatan produksi, produktivitas, dan pengembangan produk olahan (diversifikasi produk). Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: (a) meningkatnya produksi pangan (khususnya beras) secara berkelanjutan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional, (b) meningkatnya produksi pangan sumber karbohidrat alternatif non-beras yang berakar pada sumberdaya dan budaya lokal, (c) meningkatnya produksi pangan protein, vitamin dan mineral untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, dan (d) meningkatnya keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan dan menurunnya konsumsi beras per kapita.

B. Pembangunan Pertanian

 Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan. Jadi, pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Kata kearifan lokal biasanya digunakan untuk membedakan dua sistem pengembangan kemampuan teknologi dan pengetahuan. Kata itu tidak mengacu pada kepentingan sebuah sistem pengetahuan yang sangat kuno, tetapi digunakan untuk sebuah sistem teknologi dan pengetahuan pertanian berbasis pada masyarakat, berbeda dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang bersifat top-down yang dikembangkan oleh lembaga penelitian modern.

Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat atau petani tradisional adalah sistem pertanian yang didasarkan pada pengamatan selama bertahun-tahun terhadap lingkungan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki berbagai pengetahuan untuk mempertahankan hidup termasuk pengetahuan bercocok tanam dari setiap jenis tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan, setiap jenis tanaman memiliki kegunaan untuk berbagai macam kepentingan, sehingga dalam setiap varietas terkandung berbagai macam pengetahuan.

Hilangnya satu jenis varietas tanaman padi berarti hilang pula pengetahuan yang mengikutinya. Dalam satu varietas terkandung pengetahuan tentang: pola tanam, olah tanah, pengendalian OPT, waktu tanam, dan lain-lain. Penerapan keseragaman benih dan paket teknologi dalam Revolusi Hijau mengakibatkan hilangnya pengetahuan tradisional. Penyeragaman benih dan paket-paket teknologi menjadikan masyarakat tradisional dan petani hanya menjadi pemakai hasil teknologi sehingga pengetahuan yang sudah dikuasainya menjadi hilang.

            Pembangunan pertanian pada dasarnya merupakan proses upaya memanfaatkan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, ilmu pengetahuan, teknologi, serta manajemen untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan, meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, memperluas kesempatan kerja dan berusaha, menghasilkan sumber devisa negara dengan tetap memelihara dan meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari dan berkelanjutan. Secara operasional dan dalam arti yang lebih spesifik, pembangunan pertanian merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memperkuat petani dan keluarganya di semua lokasi sesuai dengan usahanya, agar lebih baik, lebih menguntungkan, lebih sejahtera, mandiri, terampil, dinamis, efisien, dan profesional dengan lingkungan yang terpelihara secara lestari.

            Pembangunan pertanian secara bertahap dan berkesinambungan telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembirakan baik dalam peningkatan produksi, pendapatan, kesejahteraan, lapangan berusaha dan penyerapan tenaga kerja, maupun dalam mendukung sektor industri, dan meningkatkan ekspor sehingga memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian baik wilayah, regional, maupun nasional. Namun demikian, di samping keberhasilan, diakui masih terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan yang perlu segera diatasi dan disempurnakan di masa mendatang.

C. Pendekatan Teknologi Tepat Guna yang Spesifik Lokasi Berbasis Kearifan Lokal

             Beberapa paket teknologi yang sudah diterapkan petani antara lain: pengolahan tanah, penggunaan benih berkualitas, pemupukan, pengaturan air, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Selain teknologi tersebut, ada beberapa teknologi yang telah terbukti mampu meningkatkan hasil panen baik kuantitas maupun kualitasnya, misalnya penggunaan mulsa, pemangkasan pucuk, inokulasi Rhizobium, pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT), dan pupuk pelengkap cair (PPC).

Teknologi budidaya tersebut sebagian merupakan hasil olah pikir dan karya masyarakat berdasarkan pengalaman yang baik dan telah diwariskan secara terus menerus, dan sekarang menjadi suatu kearifan lokal masyarakat yang dicari kembali untuk dapat diterapkan secara berkelanjutan, karena telah terbukti baik hasilnya. Adapun kearifan lokal dalam berbudidaya tanaman adalah sebagai berikut:

  1. Penggunaan mulsa jerami dan pupuk organik

sumber gambar : pedoman budidaya kedelai

 

      Jerami sebagai mulsa organik dan juga pupuk organik yang digunakan bertujuan untuk:

(a)  mencegah evapotranspirasi dan melindungi tanah dari terpaan sinar matahari yang berlebihan,

(b)  meningkatkan retensi lengas guna memasok lebih banyak lengas tersedia bagi tanaman,

(c)  memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah dan gembur sehingga aerasi daerah perakaran menjadi lebih baik,

(d) mempertahankan agregat tanah dari hantaman percikan air hujan guna memperkecil erosi permukaan tanah dan meningkatkan permeabilitas tanah sehingga laju infiltrasi air lebih baik,

(e)  mampu memasok bahan organik bagi tanah dan tanaman setelah mulsa jerami mengalami dekomposisi sehingga ketersediaan hara meningkat (kapasitas pertukaran kation/KPK meningkat termasuk ketersediaan unsur hara mikro) selama pertumbuhan tanaman,

(f)  mampu menekan tingkat serangan lalat bibit sampai 23-50 % dengan tidak membakar mulsa jerami sehingga dapat mengalihkan perhatian hama untuk tidak menyerang bibit kedelai sampai dengan umur 2 mst,

(g)  mencegah dan menekan pertumbuhan gulma (mampu mencapai 60-65 %) sehingga dapat mengurangi pengendalian gulma, sehingga penyiangan gulma cukup 1-2 kali sebelum kedelai berbunga,

(h)  mampu memperbaiki kondisi mikroklimat pertanaman guna menunjang pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik melalui pengendalian suhu dan kelembaban tanah, dan

(i)   mampu meningkatkan aktivitas dan populasi mikrobia yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman secara berkelanjutan.

Pemulsaan jerami dan aplikasi pupuk organik mampu meningkatkan produksi kedelai mencapai 30 %. Caranya dengan menutup lubang tanam dengan pupuk organik dan menghamparkan mulsa jerami di permukaan tanah yang telah ditanami benih kedelai, sebanyak 5 ton/ha. Mulsa jerami lebih dianjurkan pada lahan sawah yang ditanami kedelai setelah padi, khususnya di daerah endemik hama lalat bibit, dan tidak dianjurkan pada tanah sawah yang kondisinya cenderung becek dalam waktu yang lama.

            Sutanto (2002) melaporkan bahwa unsur hara dari dalam tanah yang terserap hasil panen padi sebanyak 5 ton (gabah) adalah sebesar 150 kg N, 20 kg P, dan 20 kg S. Unsur K hampir semuanya tertinggal di dalam jerami padi, sementara itu N, P, dan S hanya sepertiganya, dengan demikian jerami padi merupakan sumber hara makro yang baik. Selain itu, 5 ton padi mengandung 2 ton karbon, dan di tanah sawah secara tidak langsung merupakan sumber N. Kelebihan lain dari mulsa jerami adalah ketersediaannya langsung di lahan usahatani cukup baik, bervariasi dari 2-10 ton/ha/musim, dan sekaligus untuk mengatasi masalah limbah pertanian.

            Jerami padi sebesar 1,5 ton sama dengan 1,0 ton gabah kering, mengandung 9 kg N, 2 kg P dan S, 25 kg Si, 6 kg Ca, dan 2 kg Mg. Secara tidak langsung jerami padi juga mengandung senyawa N dan C yang berfungsi sebagai substrat metabolisme mikrobia tanah, termasuk gula, pati, selulose, hemiselulose, pektin, lignin, lemak, dan protein. Senyawa tersebut menduduki sebesar 40 %  (sebagai C) berat kering jerami. Pembenaman jerami ke dalam lapisan olah tanah sawah akan mendorong kegiatan bakteri pengikat N yang heterotropik dan fototropik (Matsuguchi, 1979).

  1. Pengaturan Jarak Tanam

            Penelitian mengenai jarak tanam untuk tanaman kedelai sudah cukup banyak dilakukan, terutama untuk kedelai kuning. Penentuan jarak tanam kedelai di lahan sawah bekas penanaman padi pada umumnya mengikuti jarak tanam padi, misalnya 20 cm x 20 cm atau berkecenderungan membentuk pola bujur sangkar. Geometri tanaman yang selalu bujur sangkar, seringkali menyulitkan dalam pemeliharaan tanaman, misalnya:

(a)  Kesulitan dalam menjaga kegemburan lapis olah dan upaya manajemen perakaran tanaman manakala diperlukan, di mana resiko kerusakan akar tanaman akibat alat pengolah (misal: cangkul) tanah cukup tinggi terutama pada jarak tanam yang rapat.

(b)  Kesulitan dalam melakukan pemupukan, baik dengan cara ditugal, dilarik, maupun dikocor (disiramkan berupa larutan campuran pupuk). Dampak negatif yang terjadi adalah kemungkinan tanaman dalam menyerap dan memanfaatkan hara pupuk belum dapat secara maksimal, dan aplikasi pupuk yang tidak bijaksana malah dapat menimbulkan resiko kematian organ tanaman yang bersinggungan langsung dengan pupuk anorganik.

(c)  Kesulitan dalam melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), misalnya upaya penyiangan gulma dan penyemprotan pestisida baik herbisida maupun insektisida dan fungisida.

Pengubahan geometri empat persegi panjang atau hexagonal dengan populasi tanaman per hektar tetap optimal, dengan 2 atau 3 benih per lubang tanam memungkinkan pekerjaan pendangiran dan penggemburan tanah dapat dilakukan dengan baik, dan upaya peningkatan indeks luas daun (leaf area index) dapat dicapai secara optimal, hal ini merupakan faktor penentu dalam pemeliharaan produktivitas kedelai.

Salah satu upaya yang telah terbukti, baik secara pengalaman petani yang kemudian dilakukan uji klarifikasi dan verifikasi melalui kegiatan penelitian, menunjukkan bahwa kearifan lokal petani yang menggunakan jarak tanam secara jejer wayang terutama jarak tanam 40 cm x 10 cm telah berhasil baik dalam meningkatkan produktivitas kedelai hitam bahkan mampu mencapai 2,40 ton/ha dicapai oleh Mbah Guno petani dusun Jogodayoh desa Sumbermulyo, kecamatan Bambanglipuro Bantul tahun 2004 dan 2,76 ton/ha dicapai oleh M. Zubat petani dusun Nangsri desa Srihardono, kecamatan Pundong Bantul. Demikian juga untuk petani di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menerapkan anjuran tersebut juga mampu menghasilkan produktivitas tanaman kedelai hitam yang cukup baik. Oleh karena itu, jarak tanam yang jejer wayang dianjurkan untuk penanaman kedelai hitam terutama dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm. Sementara rerata produktivitas kedelai secara nasional hanya mencapai 1,1 ton/ha, sehingga hal ini menjadikan suatu pemacu bagi petani untuk dapat berbuat lebih baik.

Selain terbukti dalam meningkatkan produktivitas tanaman kedelai hitam, penerapan jarak tanam berupa jejer wayang mampu memberikan kemudahan dalam pemeliharaan tanaman, meliputi penggemburan tanah, pemupukan, dan pengendalian OPT, di samping itu secara teknis pengerjaannya mudah dilakukan dengan tetap mendasarkan pada bekas jarak tanam padi 20 cm x 20 cm, sehingga aplikasinya lebih disukai oleh petani.

Pada situasi khusus seperti di lahan sawah yang jenis tanahnya Grumusol (Vertisol) dengan daya kembang kerut yang tinggi dikarenakan memiliki tipe mineral lempung 1:2 (Montmorilonit), yang bericirikan “mlethek” saat musim kemarau dan “melumpur” saat musim hujan, maka penanaman kedelai di lahan sawah bekas penanaman padi adalah sebagai berikut:

(a)   Benih kedelai segera ditanam setelah panen padi, dan sebaiknya waktu tanam tidak boleh melebihi 7 hari setelah panen padi, agar tanah masih cukup tersedia lengasnya untuk pertumbuhan awal kedelai.

(b)   Benih kedelai ditanam di bagian tengah singgang padi dengan cara ditugal, hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kerusakaan akar saat tanah mengalami kekeringan. Saat tanah “mlethek” akan menyebabkan akar terputus karena tertarik akibat daya kembang kerut tanahnya, terutama bagi benih yang ditanam bukan pada bagian tengah singgang padi.

(c)   Benih kedelai yang ditanam di bagian tengah singgang tetapi waktu tanamnya sudah melebihi 7 hari setelah panen padi, dari pengalaman petani dan hasil penelitian menunjukkan adanya potensi penghambatan pertumbuhan perkecambahan benih kedelai, hal ini ternyata disebabkan adanya senyawa metabolit sekunder dari sisa tanaman padi.

(d)  Pupuk organik dapat diberikan setelah benih ditanam sekaligus untuk menutup lubang tanam, khususnya di lahan yang tidak rawan genangan, sementara untuk lahan yang rawan genangan pupuk organik baru diberikan setelah tanaman berumur sekitar 2-3 minggu setelah tanam.

  1. Pemangkasan pucuk

            Petani khususnya yang memiliki lahan sempit, pada awalnya telah melakukan kegiatan pangkas pucuk tanaman kedelai, dan hasilnya dapat meningkatkan produktivitas kedelai. Setelah dilakukan penelitian, maka pemangkasan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan indeks luas daun guna mendekati angka optimalnya, yaitu 3-4.

Pertumbuhan tanaman kedelai ke atas yang terlalu rimbun perlu dipangkas agar sinar matahari bisa menerobos dan terdistribusi merata masuk ke sela-sela tanaman, sehingga mampu merangsang pembentukan bunga lebih banyak. Cabang-cabang produktif pun akan terangsang pertumbuhannya, sehingga jumlah polong yang terbentukpun meningkat. Pemangkasan pucuk kedelai dilakukan pada ruas pertama, kedua, atau ketiga yang dihitung dari pucuk batang pokok. Berdasarkan hasil penelitian, pemangkasan ruas kedua meningkatkan produktivitas kedelai dibandingkan pemangkasan ruas yang lain. Pemangkasan cukup dengan menggunakan tangan yang bersih atau dengan gunting pangkas. Waktu pemangkasan yang tepat adalah 21-25 hari setelah tanam atau 10-14 hari sebelum bunga pertama keluar. Kondisi demikian dikarenakan pada saat tanaman kedelai berumur 3-4 minggu setelah tanam (mst), kedelai berada dalam fase pertumbuhan cepat, sehingga rangsangan pembentukan tunas cabang produktif dapat berlangsung dengan baik. Peningkatan jumlah cabang produktif kedelai dapat menghasilkan komponen hasil secara lebih baik, sehingga peningkatan produktivitas tanaman dapat dicapai secara maksimal.

Seandainya akan menerapkan teknik pemangkasan pucuk, maka yang harus diperhatikan adalah pengaturan jarak tanam dan populasi tanamannya. Kondisi jarak tanam yang lebih renggang misalnya 40 cm x 20 cm akan memberikan ruang tumbuh yang lebih optimal bagi tanaman yang dipangkas pucuknya, sehingga pertumbuhan cabang produktif baru dapat optimal dalam menunjang produksi yang maksimal.

Teknologi Alternatif lain dalam meningkatkan produksi kedelai

  1. Inokulasi Rhizobium

            Dalam proses pertumbuhan, kedelai sangat memerlukan nitrogen dalam jumlah yang cukup, untuk pembentukan asam amino (protein). Nitrogen diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui tanah apabila tersedia cukup banyak, dan melalui udara dengan bantuan bintil-bintil akar yang mengandung bakteri Rhizobium. Beberapa keuntungan dari inokulasi Rhizobium, antara lain: (a) tanaman tumbuh subur sehingga produksi yang dihasilkan meningkat, (b) kualitas biji menjadi lebih baik karena kandungan proteinnya lebih tinggi, (c) mengurangi biaya pemupukan terutama pupuk nitrogen, (d) tidak membahayakan lingkungan karena Rhizobium tidak bersifat meracun, dan (e) produktivitas lahan dan tanaman dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

            Tidak semua lahan mengandung Rhizobium terutama lahan yang belum pernah ditanami kedelai. Inokulasi dapat dilakukan melalui tiga cara berikut:

(a)  Menggunakan inokulasi buatan, misalnya: Legin, Rhizogin, dan Rhizobin yang berupa serbuk, cara aplikasinya dengan membasahi benih dengan air sehingga menjadi lembab dan mencampurkan inokulan buatan 50-75 g setiap 10 kg benih kedelai, untuk membantu melekatkan inokulan dapat ditambah dengan sedikit gula pasir, pencampuran dilakukan secara merata dan di tempat yang teduh, dan benih segera ditanam (tidak lebih dari 6 jam). Jika bintil akar efektif maka penambatan nitrogen melalui udara dapat mencapai ¾ bagian dari total nitrogen yang dibutuhkan.

(b)  Menggunakan tanah bekas kedelai, biasanya telah banyak mengandung Rhizobium, cara aplikasinya adalah dengan mencampurkan tanah bekas kedelai sebanyak 3-4 kuintal ditaburkan pada lahan seluas 1 ha kemudian diaduk merata atau dengan menaburkan tanah pada setiap lubang tanam, dapat juga dengan menumbuk halus tanah inokulan sebanyak 1,0-2,5 kg untuk dicampurkan dengan benih kedelai yang telah direndam air selama 15 menit sampai merata dan segera ditanam.

(c) Inokulasi bertahap secara alami, yaitu dengan menanam kedelai secara terus-menerus pada lahan tertentu, cara ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan cara kedua cara di atas.

(d) Menggunakan Rhizo-plus dari Balitbio Bogor, formula ini diperkaya dengan hara mikro yang diperlukan oleh mikroba dan tanaman. Kelebihan Rhizo-plus selain mampu menambat nitrogen udara juga meningkatkan kelarutan fosfat di dalam tanah. Berdasarkan hasil uji coba di beberapa tempat penanaman mampu meningkatkan hasil sebesar 242,5 kg/ha dan penghematan urea sampai 100 %. Cara aplikasinya sama seperti aplikasi inokulan buatan lainnya, untuk 8 kg benih kedelai dibutuhkan 30 g Rhizo-plus.

            Pelaksanaan inokulasi Rhizobium di lapangan tidak selamanya memperoleh hasil yang memuaskan. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara inokulan dengan kedelai dan adanya kompetisi dengan Rhizobium alam. Rhizobium dan kedelai dapat melakukan simbiose dengan baik pada tanah subur yang banyak mengandung unsur P, Ca, dan Mo, serta pH berkisar 5,5-7,0. Apabila pH tanah terlalu rendah maka tanah akan kekurangan Ca, P, dan Mo. Suhu tanah optimum bagi pertumbuhan bakteri berkisar 18-20 0C, lahan yang terlalu banyak terkena sinar matahari perlu diberi mulsa agar evaporasi tidak tinggi. Beberapa persyaratan agar bintil akar tumbuh baik dan efisien, adalah: cukup tersedia bahan untuk keperluan fotosintesis seperti cahaya matahari, CO2, dan permukaan daun yang luas; kondisi lingkungan yang baik sehingga penambatan nitrogen berlangsung sempurna, dan tersedia pertukaran udara dan air yang cukup.

  1. Aplikasi Mikoriza

Muis et al. (2013) melaporkan bahwa inokulasi mikoriza dapat meningkatkan jumlah bintil akar, namun tidak mendukung pertumbuhan akar dan tajuk serta tidak meningkatkan komponen hasil dan hasil tanaman kedelai. Aplikasi mikoriza akan lebih bermanfaat untuk penanaman kedelai di lahan kering, dikarenakan terbentuknya hifa mikoriza dalam sistem perakaran dapat memperluas bidang serapan air dan hara (Jannah, 2011).

  1. Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan Pupuk Pelengkap Cair (PPC)

            ZPT yang telah direkomendasikan oleh Komisi Pestisida untuk kedelai antara lain: Nevirol 20 WP, Ethrel 40 PGR, Ergostim 51/9 AC, Fujiwan 400 EC, Dekamon 22,43 L, Dekamon 1,2 G, Dharmasri 5 EC, Nitrozyme 0,5 AS, dan Matador. Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan bahan yang dapat merangsang peningkatan jumlah biji per polong dan jumlah polong per tanaman. Cara penggunaan ZPT tergantung bentuknya, bentuk granuler atau butiran dapat ditaburkan sekitar perakaran dan yang berbentuk cairan dapat disemprotkan dengan dosis dan waktu aplikasi sesuai dengan anjuran yang terdapat dalam kemasan masing-masing ZPT.

            Pupuk pelengkap cair (PPC) berupa pupuk yang umumnya mengandung unsur makro (N, P, dan K) dan unsur mikro. Gemari, Gemari-plus, dan Hidrasil merupakan PPC untuk kedelai, berdasarkan penelitian di daerah tertentu penggunaan PPC mampu meningkatkan hasil antara 12-15 %. Hasil pengujian pupuk P2000Z menunjukkan bahwa hasil kedelai hitam dapat meningkat 1,17 kali lipat dibandingkan dengan pemupukan anjuran (Urea 50 kg/ha, SP36 dan KCL masing-masing 75 kg/ha)

  1. Perlakuan benih

            Kedelai dapat terserang hama sejak awal tumbuh, hama bibit yang paling terkenal adalah lalat bibit Agromyza sp. Umumnya cukup sulit untuk dikendalikan bila tidak diketahui cara dan waktu penyerangannya, dengan penyerangan yang begitu dini maka antisipasi pengendaliannya harus dilakukan sejak benih. Beberapa insektisida untuk mengendalikan hama tersebut antara lain: Marshal 25 ST, Larvin 250 ST, Larvin 25 WP, dan Confidor 70 WS. Formulasinya berbentuk tepung, cara penggunaannya adalah dengan mencampurkan formulasi ini dengan benih kedelai sehingga seluruh permukaan benih terselimuti, untuk setiap kilogram benih dibutuhkan 20 g insektisida.

            Pengalaman petani organik dengan menutup lubang tanam kedelai hitam menggunakan pupuk organik dan mulsa jerami (tanpa dibakar), ternyata mampu untuk menghindarkan tanaman dari serangan lalat bibit terutama di daerah endemis. Selain mampu mengatasi lalat bibit, upaya tersebut sangat bermanfaat dalam memasok hara tersedia bagi tanaman.

Halaman 2 dari 5

Kedelai Hitam Malika, Kedelai Berkualitas Asli Indonesia

11 Oktober 2016

Kecap dapat dikatakan sebagai salah satu pelengkap makanan yang kerap digunakan masyarakat Indonesia. Karena itu,...

Swasembada Kedelai, Indonesia Butuh 2 Tahun Lagi

11 Oktober 2016

Kementerian Pertanian menargetkan Indonesia bisa swasembada kedelai pada 2018 dengan penyaluran bantuan benih dan sarana...

Pamor Kedelai Edamame Indonesia Turun

11 Oktober 2016

Meski pun tidak begitu populer untuk dikonsumsi di dalam negeri, namun budidaya edamame cukup marak...

Mengapa pilih tempe untuk bisnis kuliner di London?

11 Oktober 2016

Seorang pemilik warung tempe di London mengatakan ia sangat suka tempe dan belajar di banyak...

Keseharian "bule penjual tempe" di London

11 Oktober 2016

Seorang warga Inggris yang memiliki warung tempe di London bercerita tentang kegiatannya dalam satu minggu...

Kunjungan Web

Hari ini760
Kemarin450
Minggu ini1210
Bulan ini1779
Total207576

Nampak
  • IP Anda: 216.73.216.89

May 2025
S M T W T F S
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28 29 30 31
Copyright © 2025 Pekakekal (Pengembangan Kajian Kedelai lokal) All Rights Reserved.
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada