Oleh:
Dody Kastono
Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman
Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta
Iklim di Indonesia terbagi dua musim, yaitu musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK). Akhir-akhir ini perubahan iklim dan cuaca cukup berpengaruh besar terhadap bidang pertanian. Khususnya adanya dampak pemanasan gobal (Global Warming) yang menyebabkan adanya pergeseran pola musim, yang menyebabkan kegagalan panen maupun kematian tanaman dikarenakan adanya dampak kekeringan (El-Nino) serta hujan berlebihan bahkan banjir (La-Nina). Di daerah lahan marjinal seperti di daerah tadah hujan/lahan kering maupun lahan pasir pantai, ketersediaan air bagi tanaman cenderung terbatas dan kurang mencukupi bagi kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Keadaan yang spesifik ini berkonsekuensi menuntut adanya campur tangan manusia dalam mengelola perencanaan waktu tanam dan panen yang tepat. Hal ini dikarenakan, perencanaan waktu tanam dan panen dapat menjadi penentu bagi keberhasilan usaha tani. Dampak negatif perubahan ekstrem iklim dan cuaca dalam suatu periode penanaman kedelai dapat menimbulkan berbagai permasalahan, hal ini seperti ditunjukkan dalam Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Permasalahan budidaya kedelai di lahan sawah serta akibat dan cara mengatasinya.
Sumber: Adisarwanto dan Wudianto (1999) dan pengalaman penulis.
Tabel 2. Permasalahan budidaya kedelai di lahan sub-optimal (lahan kering) serta akibat dan cara mengatasinya.
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 di atas, menunjukkan bahwa usaha tani kedelai cukup beresiko apabila tidak dilakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungan, khususnya terhadap anasir iklim dan cuaca yang juga berdampak negatif adanya gangguan hama dan penyakit.
Alternatif solusi yang dapat diupayakan adalah mengatur pola tanam yang disesuaikan berdasarkan wilayah dan kondisi lahannya.
Pola tanam yang sudah disepakati oleh kelompok tani di suatu wilayah harus dilakukan secara serempak dan kompak oleh anggota kelompok tani. Hal ini dimaksudkan untuk pengelolaan usaha tani yang lebih terkendali dan terarah, khususnya dalam pengaturan pemeliharaan tanaman (pengairan, pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman). Di samping itu, pengaturan tenaga untuk tanam, pemeliharaan, dan panen dapat dikoordinasikan sejak dini. Secara keseluruhan, apabila semua tahapan budidaya kedelai dapat dilakukan secara baik sesuai kebutuhan tanaman, maka ada dapat diharapkan adanya peningkatan produksi dan kualitas secara berkelanjutan.
Oleh:
Dody Kastono
Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman
Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM
Agroforestri berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, pakan ternak, atau padang penggembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, di mana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut tetap mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar-pohon dan komponen lainnya.
Masyarakat sudah terbiasa melakukan penanaman secara tumpangsari di kawasan hutan atau lahan kering (tadah hujan). Kedelai sebagai tanaman pangan yang penting dan strategis (menduduki rangking ketiga setelah padi dan jagung), sekarang ini porsi terbesarnya dipenuhi dari kedelai impor. Permasalahan yang dihadapi antara lain rendahnya luas areal tanam dan rendahnya produktivitas kedelai dari waktu ke waktu.
Gambar 1. Kedelai hitam Mallika umur 21 hari setelah tanam, penanaman di Sidolaju Widodaren (kiri) dan Pelanglor Kedunggalar (kanan) kabupaten Ngawi.
Program peningkatan produksi dan kualitas kedelai, selain melalui program intensifikasi juga masih harus ditunjang dengan program ekstensifikasi. Pengembangan kedelai dihadapkan pada terbatasnya lahan subur. Lahan yang masih tersedia umumnya tergolong marjinal sehingga memerlukan investasi yang lebih besar untuk dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kedelai. Salah satu lahan yang berpotensi digunakan untuk penanaman kedelai adalah di kawasan hutan. Oleh karena itu, agroforestri jati dan kedelai dapat menjadi salah satu alternatif terbaik untuk dikembangkan.
Kedelai dapat ditanam di kawasan hutan yang umur jatinya sampai dengan 3 tahun, di mana tingkat naungannya masih relatif belum tinggi (< 30 %). Beberapa permasalahan yang dapat ditemukan di lahan kawasan hutan dan solusi yang dapat dilakukan antara lain:
Gambar 2. Kedelai hitam ditanam di kabupaten Bojonegoro: lebih dari 85 polong dengan 3 cabang produktif (kiri) dan di Pelanglor Kedunggalar kabupaten Ngawi: 348 polong dengan 12 cabang produktif (kanan).
Keuntungan pengembangan kedelai di lahan kawasan hutan adalah:
Pada lahan jati muda, kedelai dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya. Selain meningkatkan produktivitas lahan, cara ini juga memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat maupun Perhutani. Sejalan dengan siklus produktifnya, jati memerlukan peremajaan dalam periode tertentu. Masa peremajaan ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kedelai hingga jati berumur 3 tahun. Kalau 10 % saja dari total areal hutan jati di setiap Kuasa Pemangku Hutan (KPH) mengalami peremajaan tanaman per tahun, maka tersedia lahan yang tersedia cukup luas untuk pengembangan kedelai.
Swasembada kedelai akan semakin mudah untuk dicapai secara bertahap apabila ditunjang dengan penyediaan luas areal tanam mencapai sekitar 1,5 juta ha dengan asumsi rerata produksi 1,5 ton/ha atau lebih, maka akan dihasilkan minimal 2,25 juta ton kedelai yang diharapkan dapat mendekati pemenuhan kebutuhan kedelai nasional secara bertahap. Angka prediksi ini bukan suatu hal yang sangat sulit untuk dicapai, namun demikian perlu ada komitmen bersama antar berbagai pihak, khususnya didukung oleh 4 pilar A-B-C-G (academy, business, community, and government) yang difasilitasi dengan adanya regulasi yang jelas dan berpihak pada petani. Ke depan bila program intensifikasi dan ekstensifikasi dapat diselaraskan bersama secara simultan, maka hal ini tentu saja dapat untuk mengurangi impor kedelai yang hingga saat ini masih terus berlangsung, bahkan dapat menuju swasembada kedelai secara mandiri dan berkelanjutan.